sejarah bahasa arab
Bahasa Arab adalah salah satu bahasa
tertua di dunia. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang awal mula
munculnya bahasa Arab. Teori pertama menyebutkan bahwa manusia pertama yang
melafalkan bahasa Arab adalah Nabi Adam’alaihissalâm-. Analisa yang digunakan;
Nabi Adam -‘alaihissalâm- (sebelum turun ke bumi) adalah penduduk surga, dan
dalam suatu riwayat dikatakan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab,
maka secara otomatis bahasa yang digunakan oleh Nabi Adam -‘alaihissalâm-
adalah bahasa Arab dan tentunya anak-anak keturunan Nabi Adam -‘alaihissalâm-
pun menggunakan bahasa Arab. Setelah jumlah keturunan Nabi Adam -‘alaihissalâm-
bertambah banyak dan tersebar ke pelbagai tempat, bahasa Arab –yang digunakan
saat itu– berkembang menjadi jutaan bahasa yang berbeda. Teori ini kurang
populer dikalangan ahli bahasa modern, khususnya di kalangan orientalis, dengan
asumsi bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa ‘Adam
-‘alaihissalâm- menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari (daily
language).
Sedangkan Schlözer, seorang tokoh
orientalis, mengemukakan bahwa bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit. Teori
ini diambil dari tabel pembagian bangsa-bangsa di dunia yang terdapat dalam
kitab Perjanjian Lama. Tabel ini menggambarkan bahwa setelah terjadinya banjir
nabi Nuh, semua bangsa di dunia berasal dari tiga orang putera nabi Nuh
-‘alaihissalâm- yaitu Syam, Ham, dan Yafis. Nama Semit diambil dari nama Syam,
putera Nabi Nuh -‘alaihissalâm- yang tertua. Namun teori ini juga mempunyai kelemahan.
Tabel penyebaran putera-putera Nuh -‘alaihissalâm- yang disebutkan dalam
Perjanjian Lama hanya membagi bangsa berdasarkan pertimbangan politik dan
geografis semata, tidak ada sangkut pautnya dengan bahasa.
Dalam perkembangannya, bahasa Arab
terbagi menjadi dua bagian besar yaitu bahasa Arab Selatan dan Bahasa Arab
Utara. Dr. Basuni Imamuddin dalam makalahnya tentang sejarah bahasa Arab
menjelaskan tentang pembagian bahasa Arab sebagai berikut, Bahasa Arab terbagi
menjadi dua yaitu bahasa Arab Selatan dan bahasa Arab Utara. Bahasa Arab
Selatan disebut juga bahasa Himyaria yang dipakai di Yaman dan Jazirah Arab
Tenggara. Bahasa Himyaria ini terbagi dua yaitu bahasa Sabuia dan bahasa
Ma’inia. Tentang bahasa ini telah ditemukan artefak-artefak yang merujuk pada
abad ke 12 SM sampai abad ke 6 M. Sedangkan bahasa Arab Utara merupakan bahasa
wilayah tengah Jazirah Arab dan Timur Laut. Bahasa ini dikenal dengan bahasa
Arab Fusha yang hingga kini dan masa-masa yang akan datang tetap dipakai karena
al-Qur`an turun dan menggunakan bahasa ini. Bahasa ini mengalami penyebaran
yang demikian luas bukan hanya di kalangan bangsa Arab saja tetapi juga di
kalangan kaum muslimin di seluruh dunia.
Pada masa pra-Islam –atau yang lebih
dikenal dengan jaman jahiliyah- bahasa Arab mulai mencapai masa puncaknya
(prime condition). Hal ini diawali dengan keberhasilan orang-orang Arab Badui
–di bawah pimpinan suku Quraisy- menaklukan penduduk padang pasir, sehingga
mulai saat itu bahasa Arab dijadikan bahasa utama dan mempunyai kedudukan yang
mulia di tengah kehidupan masyarakat sahara. Hal lain yang tidak bisa kita
pungkiri untuk membuktikan kemajuan bahasa Arab pada masa jahiliyah adalah
kemampuan masyarakat jahiliyah untuk menciptakan syair-syair indah baik dari
segi retorika ataupun makna. Bahkan saat itu telah diadakan lomba pembuatan
syair atau puisi, syair yang menjadi pemenang dalam perlombaan tersebut
nantinya akan dipamerkan di tengah masyarakat dengan cara digantung di dalam
Ka’bah, syair-syair ini dikenal dengan nama syair Mu’allaqât (الأشعار
المعلقات). Penyair-penyair terkenal yang sering memenangkan perlombaan tersebut
antara lain, Amru al-Qais, Zuhair bin Abi Salmi, Al-‘Asya, Al-Hantsa, Zaid bin
Tsabit, dan Hasan bin Tsabit. Kemajuan syair-syair Arab pada masa ini (jahiliyah,
pen) tak luput dari perhatian ahli-ahli bahasa pada masa Islam, bahkan
‘Abdullah bin ‘Abbas –rahimahumallâh- menjadikan syair-syair jaman jahiliyah
sebagai rujukan untuk mendefiniskan beberapa kata dalam al-Qur’an yang kurang
jelas maknanya, “syair/puisi adalah referensi orang Arab (الشعر ديوان
العرب)”.
Islam datang dengan diutusnya Nabi
Muhammad -shallallâhu’alaihi wasallam-, saat itulah al-Qur’an diturunkan, tentu
saja menggunakan bahasa Arab yang paling sempurna/baku (فصحي) dengan keindahan
retorika dan kedalaman makna yang tak tertandingi. Allah -Subhânahu wa Ta’âla-
tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an melainkan karena ia
adalah bahasa terbaik yang pernah ada. Allah -Subhânahu wa Ta’âla- berfirman, “Sesungguhnya
Kami telah jadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkannya.”
(Yusuf: 2). Allah -Subhânahu wa Ta’âla- juga berfirman, “Dan
sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Pencipta Semesta Alam,
dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar
kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
dengan bahasa Arab yang jelas” (Asy Syu’ara: 192-195). Keindahan bahasa
al-Qur’an juga diakui oleh Janet Holmes, orientalis pemerhati bahasa. Dia
mengatakan bahwa al-Qur’an dilihat dari segi sosiolinguistik atau teori
diglosia dan poliglosia mengandung high variety (varitas kebahasaan yang
tinggi).
Diturunkannya al-Qur’an dengan
bahasa Arab menandai terjadinya revolusi fungsi pembelajaran bahasa Arab. Paska
diturunkannya al-Qur’an, dorongan untuk mempelajari bahasa Arab lebih
dikarenakan faktor agama daripada faktor-faktor lainnya (ekonomi, politik dan
sastra). Bahkan bisa dikatakan bahwa perkembangan bahasa Arab berbanding lurus
dengan penyebaran agama Islam. Adapun penulisan huruf Arab telah dimulai jauh
lebih dulu dari pada turunnya al-Qur`an. Namun saat itu huruf Arab belum
mengenal titik dan harakat, sehingga paska meninggalnya Rasulullah
-shallallâhu’alaihi wasallam- dan beberapa sahabat, mulai muncul kesalahan
dalam membaca beberapa kata dalam al-Qur’an. Seperti kata yang bisa dibaca
فتبينوا /fatabayyanû/ atau فتنبثوا /fatanabbatsû/. Untuk menghilangakan
kesalahan tersebut maka dibuatlah titik dan harakat. Orang pertama yang
menuliskan titik dan harakat pada bahasa Arab adalah Abu al-Aswad
ad-Duali.
Selain memprakarsai penulisan titik
dan harakat, Abu al-Aswad ad-Duali juga menjadi pioner dalam penyusunan ilmu
Nahwu. Tetapi, Teori ilmu Nahwu baru dikembangkan secara komprehensif oleh
Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-175 H)
dikenal sangat menguasai logika Aristoteles, dengan demikian, teori-teorinya
sangat dipengaruhi oleh filsafat. Ia berusaha menguraikan fenomena-fenomena
kebahasaan dengan perspektif filsafat, salah satunya adalah pemikiran
kausalitas (sababiyyah). Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang “ada” di muka
bumi ini mengharuskan “pengada”. Begitu pula dengan fenomena perubahan akhir
kata atau i’râb, mengharuskan ada sesuatu “yang menyebabkan” hal itu terjadi.
Maka Khalil menamakan penyebab itu dengan ‘âmil (yang berbuat) (‘Alamah,
1993:37-38). Upaya yang dilakukan al-Farahidi diteruskan oleh muridnya yang
bernama Sibawaih. Dia telah berhasil menyerap semua pemikiran Khalil dan
mengembangkannya secara lebih luas dan mendalam dan menuangkannya dalam sebuat
buku yang diberi judul al-Kitab (الكتاب) yang sangat dikagumi oleh masyarakat
pemerhati nahwu pada masa itu, sehingga mereka menyebut buku al-Kitab sebagai:
“Qur`annya Nahwu”. Buku ini benar-benar mencakup semua persoalan nahwu
secara menyeluruh, sehingga tidak ada satu masalah pun dalam nahwu yang tidak
dibahas.
0 komentar:
Posting Komentar